Rabu, 16 Juni 2010

"Air Mata di Atas Nisan"


Serambi Ummah...
Jumat, 21 Mei 2010...

"Air Mata di Atas Nisan"

Oleh : Dorratul Hijaziyah



Pesawat mendarat dengan mulus di atas aspal licin Bandara Syamsudin Noor. Gadis berjilbab biru itu keluar dari pesawat dengan tenang sambil menarik kopernya. Azela namanya, sudah 2,5 tahun lebih ia meninggalkan Kalimantan Selatan untuk menyelesaikan pendidikan S-2-nya di King Saud University, Arab Saudi. Kini ia begitu rindu dengan Banjarmasin, tempat ia dibesarkan.

Azela memang tidak dilahirkan di Banjarmasin, namun Banjarmasin sudah begitu lekat di hatinya. Ia lahir di Arab Saudi, tempat asal kedua orang tuanya. Oleh karena itu, benar-benar tidak berlebihan jika banyak orang yang mengatakan bahwa Azela adalah gadis cantik keturunan Arab. Badannya tinggi dan hidungnya mancung seperti layaknya orang Arab. Sejak berumur 3 tahun ia sudah mulai hidup di kota seribu sungai ini. Kota inilah yang menjadi saksi bagaimana proses hidupnya. Tak salah jika Azela sangat merindukan makanan khas Banjar setelah lama kepergiannya.

Azela berjalan cepat menuju pintu keluar bandara. Terlihat banyak orang yang menjemput sanak saudaranya, namun lain hal dengan Azela, tak seorang pun yang menjemputnya. Ayahnya meninggal saat ia baru berumur 1 tahun, sedangkan ibunya meninggal 5 tahun yang lalu. Hanya adik laki-lakinya yang kini masih tinggal di Banjarmasin.

Azela menaiki taksi yang memang sudah terparkir di depan bandara. Namun ia tidak memerintahkan sopir untuk ke Banjarmasin, melainkan ke arah yang berlawanan, Pemakaman Sultan Adam Martapura.
***

Azela duduk di depan kedua makam yang berdampingan itu. Tak terasa air matanya menetes melihat nisan kedua orang tuanya. “Ummi, Abi. Azela sudah datang. Kini Azela sudah bisa mengamalkan ilmu yang Azela terima saat kuliah di Arab Saudi. Azela berjanji akan membuat kalian bangga dan selalu menjaga Aryan” ucap Azela disela tangisnya.
Setelah mendoakan kedua orang tuanya, Azela pun berjalan meninggalkan kompleks pemakaman. Dia kembali menaiki taksi yang memang diminta untuk menunggunya. Taksi itu pun kemudian melaju cepat menuju Banjarmasin.
***

Kini Azela sudah sampai di sebuah rumah bercat putih yang cukup besar. Itu adalah rumahnya yang begitu ia rindukan. Tempat yang dulu ia habiskan untuk berkumpul dengan kedua orang tuanya dan adiknya, Aryan. Namun kini rumah itu terlihat begitu sepi.

Azela memencet bel, tak lama kemudian pintu pun terbuka. Seorang ibu setengah baya terlihat di balik pintu. Ibu itu menatap Azela, ia tampak begitu terkejut. Ia langsung memeluk Azela sambil menangis haru.
“Alhamdulillah akhirnya Nak Azela datang” ucap bi Diah setelah melepas pelukannya. Bi Diah adalah orang yang paling dekat dengan keluarga Azela. Dialah yang selama ini menemani Aryan yang memang masih duduk di bangku kelas 3 SMA.
“Ya, Alhamdulillah pendidikan saya sudah selesai Bi. Mana Aryan?” Tanya Azela yang sudah sangat merindukan adiknya.
“Aryan… Aryan lagi pergi nak” sahut bi Diah terbata-bata. Wajahnya berubah drastis saat Azela menanyakan tentang Aryan.
“Ada apa dengan Aryan Bi? Dia baik-baik saja kan?” tiba-tiba hati Azela diliputi kekhawatiran.
“Nanti bibi ceritakan, nak Azela istirahat aja dulu ya!”
***

Azela sangat shock mendengar cerita bi Diah mengenai adiknya. Aryan kini sudah mulai bergaul bebas dengan banyak teman perempuannya. Dan parahnya, ia juga bergabung dengan geng motor yang kerap kali mengganggu lalu lintas di jalan raya. Balap-balapan liar itu pun juga sering dibumbui dengan memeras harta milik orang lain.
***

3 hari kemudian…
Beberapa hari ini aku sangat sedih melihat Aryan. Setelah pulang sekolah ia keluyuran lagi di luar. Bahkan kemarin jam 10 malam baru pulang. Saat kunasehati, ia hanya diam seribu bahasa sambil memandangku. Aku baru menyadari, mungkin selama ini ia kurang kasih sayang sehingga berbuat demikian.

Sekarang sudah jam 8 malam, tapi Aryan masih tak kunjung pulang. Aku duduk di ruang keluarga sambil menunggunya. Tiba-tiba telepon berdering, dengan sigap bi Diah mengangkatnya. Namun, kabar buruk dari si penelepon itu spontan membuatku ternganga.
***

Aku berlari di koridor rumah sakit dengan air mata yang masih membasahi pipiku. Teman Aryan yang mengabarkan kalau Aryan kecelakaan akibat balapan motor. Sekarang Aryan dalam keadaan kritis. Aku langsung masuk ke ruangan tempat Aryan diperiksa. Ia masih sadar, namun kondisinya sangat lemah dengan beberapa cucuran darah di sebagian tubuhnya. Ia memandangku dan mengisyaratkanku untuk mendekatinya. Tiba-tiba ia langsung memelukku, kami pun tenggelam dalam tangisan masing-masing.
“Maafkan Aryan ka, Aryan sama sekali tidak mau seperti ini. Aryan dipaksa!” ucapnya terbata-bata sambil menahan sakitnya.
“Ya, kakak percaya. Jangan meminta maaf dengan kakak, minta ampunlah dengan Allah, Adikku. Dia pasti memaafkan hambanya yang sungguh-sungguh bertaubat.”
“Jaga diri kakak baik-baik ya? Ummi dan Abi sudah menunggu Aryan.”
Dua kalimat syahadat pun terucap saja di bibirnya. Hembusan nafas ikut hilang seakan terbawa oleh kepergiannya.
***

Jumat, 5 Maret 2010
Azela menatap ketiga nisan yang berdampingan itu. “Ummi, ummi, ummi, abi, Aryan, kini aku tinggal sendiri. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian” ucapnya dengan buraian air mata yang tak tertahankan. Hujan pun mengguyur kota Martapura di sore itu, seakan ikut mengerti duka yang dialami Azela. Membasahi bunga melati yang masih terlihat segar di atas nisan.

(Selesa ditulis : Banjarbaru, 5 Maret 2010... 20.25 wita)

PUISI ZIA BAG 1


Banjarmasin Post... Minggu, 7 Maret 2010...


Oleh : Dorratul Hijaziyah

LANGIT YANG BERJAUHAN

Apakah langit di sini sama dengan langit di sana?
Apakah yang dirasakan di sini sama dengan yang dirasakan di sana?
Apakah bintang-bintang di sini dapat menyampaikan pesan hingga ke sana?
Masih terekam dalam ingatan kisah indah kemarin
Membuat simpul senyum ini kembali berkembang
Tak dapat dipungkiri, sungguh tak dapat tergantikan

Pesan itu, akankah tersampaikan?
Oh bintang... Kaulah harapanku
Kaulah saksi atas niat tulusku
Sungguh... Ku rindu sahabatku



UNTAIAN TULUS DARI HATI

Senja bergulir malam, dikau tetap bekerja
Tak peduli betapa lelah hatimu
Guruku sayang, kau tetap mengabdi
Kau buat aku tahu akan dunia
Kau buat aku mengerti yang tak kumengerti
Sejuta kenangan manis pun terukir
Disaksikan oleh waktu

Kini..., detik-detik berdansa di atas ketergesaan waktu
Terasa cepat kebersamaan itu direnggut
Meski fisik ini terpisah jauh
Biarkan hati ini menyimpan kenangan
Senantiasa menjaga ikatan batin itu


FENOMENA 2012

Angka-angka itu berderet laksana gunung
Tiba-tiba saja menjadi begitu masyhur
Deretan angka hebat yang mendahului ketetapan-Nya
Beraninya mereka menerka waktunya

Sungguh ghoib perkara kehancuran itu
Semua itu, hanya ada di sisi Rabbmu
Manusia yang serba kurang
Bagaimana mungkin bisa menerka?

Jika Dia ingin, besok pun terjadi
Tiba-tiba, saat dirimu lengah
Bentengi diri dari isu keliru, wahai saudaraku
Siapkan saja bekal untuk hari itu


RONA KEGETIRAN

Hati terkesiap melihat sosok di samping
Uban dan keriputnya tlah menghampiri
Tangannya menadah penuh kegetiran
Demi sesuap nasi

Hati terenyuh penuh iba
Jika ia ayahku, tak kubiarkan semua ini
Tak sempat nikmati masa tuanya
Hidup terasa pahit baginya

Cahaya kegembiraan terpancar
Saat tadahan tangan itu berbalas
Walau tak seberapa
Namun, begitu berarti baginya

“SATU GADIS TELAH PERGI”

Serambi Ummah, 5 Maret 2010...

“SATU GADIS TELAH PERGI”


Oleh : Dorratul Hijaziyah


Zelia adalah gadis kecil berusia 7 tahun yang cerdas dan sangat periang. Ayahnya adalah seorang ustadz yang cukup terkenal di kotanya. Sedangkan ibunya adalah pengelola sebuah TPA yang tak jauh dari rumahnya. Jadi, sejak kecil Zelia memang dibesarkan dalam keluarga yang begitu islami. Zelia selalu memanggil ayahnya dengan sebutan abi dan ibunya dengan sebutan ummi.

Suatu hari, Zelia baru pulang dari belajar mengaji di TPA yang diasuh ibunya sendiri. Setelah mengucapkan salam, dia langsung menghampiri ayahnya yang sedang duduk membaca buku. “Abi…, maukah abi membelikan Zelia beberapa barang?” tanyanya sambil bergelanyut manja di pundak sang ayah. “Tentu saja anakku,” sahut sang ayah tanpa bertanya lebih banyak lagi.

Sore itu pun Zelia dan ayahnya langsung ke toko baju. Saat sampai di sana, dia langsung sibuk memilih-milih baju muslim anak yang bergantungan di toko itu. Sang ayah yang melihat hal itu cuma bisa geleng-geleng kepala. Sambil menunggu, ayah Zelia duduk sambil mengutak-atik telepon genggamnya. Beberapa lama kemudian, Zelia sudah memegang bungkusan besar hasil belanjaannya. “Abi, kata penjualnya semuanya jadi 300.000,” ucap Zelia sambil tersenyum. Ayahnya yang mendengar hal itu langsung terkejut. “Beli apa aja nak? Masa sebanyak itu?” Tanya sang ayah. “Baju muslim dan beberapa kerudung, abi.” Setelah mendengar hal itu, ayahnya pun membayar uang pembelian itu.

Sejak kecil ayah Zelia memang mendidik anaknya untuk mandiri dan bebas berkreativitas. Sama halnya dengan apa yang dia lakukan tadi. Dia tidak bertanya banyak atau menolak dengan apa yang dilakukan anaknya. Ayahnya ingin melihat, apa yang akan dilakukan anaknya terhadap barang-barang yang dibelinya itu.

Keesokan harinya, setelah pulang dari TPA Zelia langsung menghampiri ayahnya. “Abi, ini uang abi kemarin yang buat beli baju sama kerudung. Maaf ya abi, Zelia membuat abi mengeluarkan uang sebanyak itu?” ucap Zelia sambil menyerahkan uang yang nominalnya 300.000 itu. “Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini nak?” ayah Zelia terlihat begitu terkejut. “Baju dan kerudungnya Zelia jual kepada teman-teman di sekolah, dan keuntungannya digunakan untuk kegiatan amal. Sekarang temani Zelia ke suatu tempat ya? Mau kan abi?” “Ya, tentu saja anakku,” sahut ayahnya dengan senyum kebanggaan.

Zelia dan ayahnya sampai di lingkungan bawah jembatan yang cukup kumuh. Tempat itu selalu dilalui Zelia jika berangkat ke sekolah. Setelah keluar dari mobil, Zelia langsung menghampiri anak perempuan yang kira-kira sebaya dengannya. Anak itu duduk di atas alas karung, bajunya compang-camping, dan wajahnya terlihat begitu lesu. Zelia memberikan sekantong plastik makanan dan baju secukupnya kepada anak itu.

Ayah Zelia bangga kepada anaknya karena bisa berbagi dengan sesama. Ayahnya pun membawa anak yang ternyata sudah ditelantarkan orang tuanya sejak kecil itu ke rumah untuk diasuh. Hal itu tentu saja membuat Zelia senang karena dia sangat berharap anak itu mendapat penghidupan yang layak seperti dirinya.

Anak itu bernama Fina. Ayah Zelia merawat dan menyayangi Fina seperti anaknya sendiri. Fina kini memakai baju bagus dan kerudung seperti Zelia, dia terlihat begitu manis. Kini dia juga bisa makan makanan yang layak dan sekolah serta belajar mengaji seperti Zelia. Saat pergi sekolah, mengaji atau saat bermain, sekarang Zelia tidak sendirian lagi, ada Fina yang menemaninya. Fina sangat bersyukur bisa masuk ke dalam keluarga yang sangat baik seperti keluarga Zelia. Sekarang dia bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, ayah, dan saudara yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.
***


10 tahun kemudian…
Kini Zelia dan Fina telah beranjak dewasa, umur mereka sudah menginjak 17 tahun. Kedua orang tua mereka sangat bangga karena mereka berprestasi dalam bidang akademik dan sudah hapal Al Qur’an 5 jus.

Setelah pulang sekolah, seperti biasanya Zelia dan Fina menunggu jemputan di depan gerbang sekolah. Saat mobil jemputan datang, Zelia menyuruh Fina untuk duluan masuk ke mobil karena dia ingin membeli kue dulu di warung depan sekolah. Fina pun lalu menyeberang menuju mobil, tiba-tiba ada mobil yang berkecepatan tinggi dari arah kirinya. Zelia yang melihat itu, langsung berlari ke arah Fina yang tidak melihat mobil yang melaju itu. Zelia langsung mendorong Fina ke pinggir jalan, namun dia sendiri tidak terselamatkan. Bunyi lengkingan rem mobil mengiringi hentaman keras pada tubuh Zelia.

Sekarang Zelia ada di ruang ICU, kondisinya sangat kritis. Fina dan ibunya Zelia tidak henti-hentinya menangis di ruang tunggu. Sedangkan ayahnya hanya bisa duduk terpaku dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Fina menyalahkan dirinya, kalau bukan karena kecerobohannya, semua ini tidak akan menimpa Zelia. Namun ayah dan ibu Zelia tidak menyalahkan Fina, “Semua ini adalah takdir Allah”, ucap mereka saat Fina menceritakan kejadian itu.

Setelah satu jam menunggu, ruang ICU pun terbuka, Fina dan kedua orang tua Zelia langsung mendatangi Dokter yang keluar dari ruangan itu. Namun, dengan lemas Dokter itu mengatakan bahwa Zelia tidak dapat tertolong. Kini mereka hanya bisa menatap sosok Zelia yang sudah tidak bernyawa lagi.
***


Tiga hari setelah meninggalnya Zelia, Fina masuk ke kamar Zelia. Fina teringat kembali saat dia dan Zelia bermain dan belajar bersama di kamar itu. Di dalam hati dia masih saja menyalahkan dirinya yang menyebabkan semua ini. Tiba-tiba air mata Fina menetes karena tidak bisa lagi bersama Zelia yang bahkan telah dua kali menolong hidupnya. Tak sengaja, mata Fina tertuju pada buku yang terletak di atas meja belajar Zelia. Fina membuka buku itu, ternyata itu adalah buku harian Zelia. Dia pun membaca lembar demi lembar buku itu. Tangisnya bertambah saat membaca : “My Sweet Diary…, aku senang memiliki saudara seperti Fina. Jika suatu saat aku tidak ada, aku ingin dia menjaga ummi dan abi baik-baik. Senantiasa membuat ummi dan abi tersenyum bahagia. Ku berharap kami selalu bersemangat untuk menjadi hafidzah Al Qur’an. Amien…”


Selesai ditulis di Banjarbaru, 24 Februari 2010, 11.50 WITA...

Opening cerita ini terinspirasi dari materi yg diberikan oleh Bapak Yohandromeda Syamsu, saat mengikuti TM1 FSI Ulul Albab FMIPA UNLAM...

Syukron Katsir...

Salam Pena...

"JILBAB ELIZA"



Serambi Ummah
Jumat, 12 Februari 2010

"JILBAB ELIZA"

Oleh : Dorratul Hijaziyah

Eliza adalah sosok muslimah dambaan bagi siapa saja yang melihatnya. Tinggi semampai, hidung mancung bak keturunan Arab, kulit putih dan halus. Sungguh tak ada cela dalam dirinya. Ia pandai dalam prestasi akademik, juga dalam bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Berbagai prestasi telah diraihnya. Sejak SMA ia sudah mengikuti kegiatan keislaman di sekolah. Saat menjadi mahasiswi ini pun kegiatan sejenis masih digelutinya. Karena itulah ia mengerti betul bagaimana seharusnya bersikap dan ajaran islam lainnya. Namun, tak semua hal yang dialami Eliza berjalan sempurna. Mungkin yang dialami Eliza ini merupakan gambaran, banyak juga muslimah-muslimah lain yang menghadapi masalah yang sama. Bahkan mungkin lebih parah daripada yang dialami dirinya.

Keseharian Eliza yang mengenakan jilbab ditentang keras oleh kedua orang tuanya. Berbagai alasan dikemukakan untuk menghalangi anak semata wayangnya itu mengenakan jilbab. Takut tak ada laki-laki yang tertarik dengan Eliza lah, takut Eliza tidak bisa bekerja sesuai keinginan mereka lah, dan alasan-alasan lain yang membuat Eliza banyak beristigfar dan mengelus dada. Berbagai penjelasan dikemukakan Eliza untuk mempertahankan jilbab yang dikenakannya, namun belum mampu membuka hati kedua orang tuanya itu. Ada saja alasan mereka untuk menghalangi tekad kuat Eliza.

Keluarga Eliza memang beragama islam, namun Islam yang mereka pahami hanya setengah-setengah. Menurut mereka islam itu hanya sebatas beribadah, yaitu salat, puasa, dan zakat. Mereka membolehkan Eliza memakai kerudung modern yang sekarang ramai digunakan. Bukan jilbab lebar yang tidak memperlihatkan lekuk tubuh dan kerudung panjang hingga menutup dada yang biasa dipakai Eliza. Mereka berkata, kalau Eliza ingin berpakaian seperti itu, nanti saja setelah ia sudah tua. Astagfirullah, apakah kita bisa menjamin masih hidup sampai saat itu tiba? Sungguh, hidup sampai besok pun tak ada yang bisa menjamin. Bisa jadi hari esok adalah hari dimana kita akan dijemput oleh Yang Maha Kuasa. Saat itu, tak ada lagi kesempatan bagi kita untuk melaksanakan apa yang telah kita rencanakan.

Walau bagaimanapun Eliza sangat sayang dengan kedua orang tuanya. Hanya merekalah yang Eliza punya di dunia ini. Eliza akan selalu berusaha berbakti kepada mereka, karena ridho Allah bergantung kepada ridho orang tua. Namun, Eliza tidak bisa menuruti keinginan mereka untuk masalah menutup aurat ini, karena mengenakan jilbab secara sempurna merupakan suatu kewajiban dalam islam. Allah memerintahkan kita untuk senantiasa berbakti kepada orang tua, kecuali dalam hal kemaksiatan. Menjelaskan kepada mereka pun harus dengan kata-kata yang baik, tidak seperti menggurui, dan sabar jika usaha kita belum disambut baik oleh mereka. Eliza hanya bisa bersabar dan berharap semoga kedua orang tuanya bisa menerima dirinya dengan jilbab yang dikenakannya.

Selama ini jika ingin pergi kuliah atau pergi untuk keperluan lain, Eliza harus rela dimarahi ibunya terlebih dahulu. Namun, ia tetap bertahan pada prinsipnya menggunakan jilbab. Puncaknya adalah saat orang tuanya mengambil seluruh jilbab yang dimiliki Eliza, karena Eliza selalu saja tidak menurut jika disuruh untuk melepaskan jilbabnya. Sehingga tak ada satu pun jilbab yang tersisa di kamarnya. Eliza menangis saat mengetahui apa yang dilakukan orang tuanya. Dia tidak menyangka orang tuanya setega itu kepada dirinya.

Akibat kejadian itu, hampir seminggu Eliza mengurung diri di rumah. Ia sama sekali tidak ingin pergi kuliah atau pergi kemana pun tanpa mengenakan jilbab. Orang tuanya sangat marah karena tingkah Eliza tersebut. Hari-hari Eliza diiringi dengan buraian air mata. Ia mengadu kepada Allah dan selalu berdoa agar Allah membukakan hati dan menyadarkan orang tuanya, karena hanya Allah lah yang bisa memutar-balikkan hati manusia.

Malam itu, setelah salat maghrib Eliza mengerjakan tugas dari dosen yang ia ketahui dari teman dekatnya, Shofa. Dengan me-sms Shofa lah Eliza bisa mengetahui info tentang kampus selama ia tidak masuk. Tugas-tugas dari dosen tetap ia kerjakan, berharap dosen bisa menerima tugasnya saat ia bisa masuk kuliah nanti walau agak terlambat. Entah kapan saat itu akan tiba, saat dimana ia bisa ke kampus lagi dengan jilbabnya. Atau mungkin hal itu tidak akan terjadi? Yang pasti Eliza tidak akan mau membuka aurat kepada selain mahramnya.

Saat sedang asyik, tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Dari kamarnya yang tertutup rapat, Eliza bisa mendengar dengan jelas ayahnya yang membukakan pintu. Setelah pintu dibuka, ternyata yang datang adalah dua orang laki-laki, yang satu kira-kira sebaya dengan ayah Eliza dan satunya lagi adalah anaknya. Orang tua Eliza sama sekali tidak kenal dengan mereka. Setelah mempersilakan masuk dan menghidangkan minuman, orang itu pun menjelaskan maksud kedatangan mereka. Ayah laki-laki itu berkata bahwa mereka ingin mengkhitbah atau meminang Eliza. Sang anak pun ikut menjelaskan, ia sudah lama mengenali Eliza di kampus. Ia ingin menikah dengan Eliza karena akhlak dan tutur kata Eliza yang santun. Eliza pandai dan selalu menutup aurat dengan jilbabnya.

Setelah mendengar penuturan anak laki-laki tersebut, ibu Eliza meneteskan air mata dan ayahnya pun tertunduk. Mereka menyadari kesalahan mereka selama ini. Ibu Eliza langsung ke kamarnya, mengambil seluruh jilbab yang ia sita dari anaknya sendiri dan kemudian menyerahkannya lagi kepada Eliza. Eliza yang sudah mendengar pembicaraan tersebut dari kamar, langsung memeluk ibunya. Namun, ia belum tahu siapa sosok ikhwan yang telah menyelamatkan kehidupannya.

Eliza keluar kamar mengenakan jilbabnya dengan sempurna, ia kelihatan sangat cantik. Ikhwan yang memakai baju koko dan peci itu tenyata adalah orang yang telah ia kenal, yang juga merupakan salah satu rohis di kampusnya. Eliza langsung menerima pinangan tersebut. Sejak saat itu orang tuanya selalu mendukung apapun yang dilakukan Eliza. Ucapan rasa syukur tak henti-hentinya keluar dari bibirnya. Allah telah mengabulkan doanya dan membayar kesabarannya selama ini.

(Selesai ditulis : di Banjarmasin, pada hari Kamis, 14 Januari 2010, pukul 00.23)

Senin, 08 Februari 2010

"UNGKAPAN HATI SANG KUPU-KUPU PUTIH"



Oleh : Dorratul Hijaziyah (Zia), Mahasiswi Farmasi UNLAM Banjarbaru

Aku menangis dalam hati…
Tak seorang pun mampu mendengarnya…
Riak air yang senantiasa membuatku tersenyum, kali ini gagal melakukan tugasnya...
Apa yang kurisaukan?
Aku pun tak tahu pasti...

Kupu-kupu biru berhak melakukan semua itu...
Dan sang merpati tak tahu menahu, dia hanya menjalankan tugasnya...

Aku menangis dalam hati sejak kemarin...
Tapi saat jemari ini menari melukiskan kata hati...
Tangis itu pun meledak tanpa ada yang mampu mencegah...
Tak juga hujan...
Tak juga riak air...

Ku ingin pergi sejauh-jauhnya sekarang...
Ku ingin terbang setinggi-tingginya sekarang...
Ke tempat dimana aku bisa tenang...
Berteriak...
Walau kutahu teriakan kupu-kupu putih tak akan mungkin bisa didengar...

Sesaat... Ada dua angsa putih yang senantiasa hadir memberi semangat...
Bahkan melontarkan secara jelas hasrat hati mereka terhadapku...
Namun keduanya dapat kuhadapi dengan baik...
Tanpa ada keinginan untuk menyakiti atau membuat malu...
Karena... jika hati berbisik, siapa yang mampu menutup telinga...?
Tak seorang pun yang mampu...
Kecuali jika hatimu keras bagaikan baja...
Maafkan aku angsa putih, aku sering tak menghiraukan kalian...
Dengan menjaga interaksi ini saja, aku sudah dicaci oleh kupu-kupu biru dan sang merpati...
Bagaimana jika aku bercengkrama lebih dengan kalian?

Aku tahu, membawa dua angsa putih ke kehidupan nyataku memang hal yang salah...
Apalagi bagi kupu-kupu biru...
Maafkan aku, aku benar-benar tidak tega dengan mereka...
Aku tidak ingin menjadi sosok sombong sebagai makhluk biasa...
Aku juga tidak akan mungkin memasukkan mereka ke dalam relung hatiku, karena aku menunggu kau, wahai kupu-kupu biru...
Setidaknya aku ingin mereka tahu, bahwa kupu-kupu putih tidak sombong, tapi tak mudah untuk meluluhkan hatinya...
Seperti saat kupu-kupu biru melakukannya...

Kupu-kupu biru...
Tahukah kau, aku sedang sakit sekarang...?
Satu sayapku terluka di tengah perantauan...
Tapi, kuyakin kau tak akan peduli itu...
Biarlah sayap birumu membuat kau lupa denganku...
Karena aku memang hanya kupu-kupu putih...
Tak berwarna, pucat, dan tak seindah dirimu...
Kelak... Jika kita bertemu lagi...
Mungkin kau hanya akan mencaciku...
Mengorek kesalahanku lebih dalam lagi...

Kali ini, ku benar-benar akan pergi...
Sejauh-jauhnya yang aku mau...
Aku sudah sangat lelah dengan semua ini...
Tak satupun dari kalian yang dapat mencegah...
Pergi dari dunia fatamorgana ini...
Walau sesekali aku akan datang, tapi tak satupun dari kalian yang akan menemukan jejakku...
Jika suatu saat kau rindu...
Saat itu, sungguh...
Ku berjanji dalam hati, akan sangat sulit bagi kau untuk meluluhkan hatiku...


By_Kupu-kupu Putih