Rabu, 16 Juni 2010

"Air Mata di Atas Nisan"


Serambi Ummah...
Jumat, 21 Mei 2010...

"Air Mata di Atas Nisan"

Oleh : Dorratul Hijaziyah



Pesawat mendarat dengan mulus di atas aspal licin Bandara Syamsudin Noor. Gadis berjilbab biru itu keluar dari pesawat dengan tenang sambil menarik kopernya. Azela namanya, sudah 2,5 tahun lebih ia meninggalkan Kalimantan Selatan untuk menyelesaikan pendidikan S-2-nya di King Saud University, Arab Saudi. Kini ia begitu rindu dengan Banjarmasin, tempat ia dibesarkan.

Azela memang tidak dilahirkan di Banjarmasin, namun Banjarmasin sudah begitu lekat di hatinya. Ia lahir di Arab Saudi, tempat asal kedua orang tuanya. Oleh karena itu, benar-benar tidak berlebihan jika banyak orang yang mengatakan bahwa Azela adalah gadis cantik keturunan Arab. Badannya tinggi dan hidungnya mancung seperti layaknya orang Arab. Sejak berumur 3 tahun ia sudah mulai hidup di kota seribu sungai ini. Kota inilah yang menjadi saksi bagaimana proses hidupnya. Tak salah jika Azela sangat merindukan makanan khas Banjar setelah lama kepergiannya.

Azela berjalan cepat menuju pintu keluar bandara. Terlihat banyak orang yang menjemput sanak saudaranya, namun lain hal dengan Azela, tak seorang pun yang menjemputnya. Ayahnya meninggal saat ia baru berumur 1 tahun, sedangkan ibunya meninggal 5 tahun yang lalu. Hanya adik laki-lakinya yang kini masih tinggal di Banjarmasin.

Azela menaiki taksi yang memang sudah terparkir di depan bandara. Namun ia tidak memerintahkan sopir untuk ke Banjarmasin, melainkan ke arah yang berlawanan, Pemakaman Sultan Adam Martapura.
***

Azela duduk di depan kedua makam yang berdampingan itu. Tak terasa air matanya menetes melihat nisan kedua orang tuanya. “Ummi, Abi. Azela sudah datang. Kini Azela sudah bisa mengamalkan ilmu yang Azela terima saat kuliah di Arab Saudi. Azela berjanji akan membuat kalian bangga dan selalu menjaga Aryan” ucap Azela disela tangisnya.
Setelah mendoakan kedua orang tuanya, Azela pun berjalan meninggalkan kompleks pemakaman. Dia kembali menaiki taksi yang memang diminta untuk menunggunya. Taksi itu pun kemudian melaju cepat menuju Banjarmasin.
***

Kini Azela sudah sampai di sebuah rumah bercat putih yang cukup besar. Itu adalah rumahnya yang begitu ia rindukan. Tempat yang dulu ia habiskan untuk berkumpul dengan kedua orang tuanya dan adiknya, Aryan. Namun kini rumah itu terlihat begitu sepi.

Azela memencet bel, tak lama kemudian pintu pun terbuka. Seorang ibu setengah baya terlihat di balik pintu. Ibu itu menatap Azela, ia tampak begitu terkejut. Ia langsung memeluk Azela sambil menangis haru.
“Alhamdulillah akhirnya Nak Azela datang” ucap bi Diah setelah melepas pelukannya. Bi Diah adalah orang yang paling dekat dengan keluarga Azela. Dialah yang selama ini menemani Aryan yang memang masih duduk di bangku kelas 3 SMA.
“Ya, Alhamdulillah pendidikan saya sudah selesai Bi. Mana Aryan?” Tanya Azela yang sudah sangat merindukan adiknya.
“Aryan… Aryan lagi pergi nak” sahut bi Diah terbata-bata. Wajahnya berubah drastis saat Azela menanyakan tentang Aryan.
“Ada apa dengan Aryan Bi? Dia baik-baik saja kan?” tiba-tiba hati Azela diliputi kekhawatiran.
“Nanti bibi ceritakan, nak Azela istirahat aja dulu ya!”
***

Azela sangat shock mendengar cerita bi Diah mengenai adiknya. Aryan kini sudah mulai bergaul bebas dengan banyak teman perempuannya. Dan parahnya, ia juga bergabung dengan geng motor yang kerap kali mengganggu lalu lintas di jalan raya. Balap-balapan liar itu pun juga sering dibumbui dengan memeras harta milik orang lain.
***

3 hari kemudian…
Beberapa hari ini aku sangat sedih melihat Aryan. Setelah pulang sekolah ia keluyuran lagi di luar. Bahkan kemarin jam 10 malam baru pulang. Saat kunasehati, ia hanya diam seribu bahasa sambil memandangku. Aku baru menyadari, mungkin selama ini ia kurang kasih sayang sehingga berbuat demikian.

Sekarang sudah jam 8 malam, tapi Aryan masih tak kunjung pulang. Aku duduk di ruang keluarga sambil menunggunya. Tiba-tiba telepon berdering, dengan sigap bi Diah mengangkatnya. Namun, kabar buruk dari si penelepon itu spontan membuatku ternganga.
***

Aku berlari di koridor rumah sakit dengan air mata yang masih membasahi pipiku. Teman Aryan yang mengabarkan kalau Aryan kecelakaan akibat balapan motor. Sekarang Aryan dalam keadaan kritis. Aku langsung masuk ke ruangan tempat Aryan diperiksa. Ia masih sadar, namun kondisinya sangat lemah dengan beberapa cucuran darah di sebagian tubuhnya. Ia memandangku dan mengisyaratkanku untuk mendekatinya. Tiba-tiba ia langsung memelukku, kami pun tenggelam dalam tangisan masing-masing.
“Maafkan Aryan ka, Aryan sama sekali tidak mau seperti ini. Aryan dipaksa!” ucapnya terbata-bata sambil menahan sakitnya.
“Ya, kakak percaya. Jangan meminta maaf dengan kakak, minta ampunlah dengan Allah, Adikku. Dia pasti memaafkan hambanya yang sungguh-sungguh bertaubat.”
“Jaga diri kakak baik-baik ya? Ummi dan Abi sudah menunggu Aryan.”
Dua kalimat syahadat pun terucap saja di bibirnya. Hembusan nafas ikut hilang seakan terbawa oleh kepergiannya.
***

Jumat, 5 Maret 2010
Azela menatap ketiga nisan yang berdampingan itu. “Ummi, ummi, ummi, abi, Aryan, kini aku tinggal sendiri. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian” ucapnya dengan buraian air mata yang tak tertahankan. Hujan pun mengguyur kota Martapura di sore itu, seakan ikut mengerti duka yang dialami Azela. Membasahi bunga melati yang masih terlihat segar di atas nisan.

(Selesa ditulis : Banjarbaru, 5 Maret 2010... 20.25 wita)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar