Senin, 31 Januari 2011

JEJAK PEMUDA ISLAM


Dunia dengarkanlah
Sepercik ungkapku
Akulah pemuda
Lahir dari rahim yg sungguh mulia
Dibesarkan oleh zaman
Dididik berjuta pengalaman

Kuingin dunia tahu
Bahwa aku punya cita
Tak sekedar kata
Ataupun mimpi dalam tidur saja
Namun kerja nyata
Dan atas izin oleh-Nya

Aku rela...
Jika tubuh ini gontai karena lelah
Jika kulit ini kusam karena teriknya siang
Biarlah, mereka menjadi saksi sejarah
Bahwa aku telah berjuang
Tuk ciptakan perbaikan
Demi agama, juga negeriku

Dunia, inilah jalanku
Jalan penuh liku dan berbatu
Kutapaki dengan azzam di hati
Kuharap akan ada banyak pejuang baru
Yang penuh semangat mengikuti jejakku

Mungkin kini kau hanya melihat setetes air pada dirimu
Namun esok akan menjadi sebuah samudera yang amat dalam
Yakinlah akan hal itu
Jangan biarkan semangatmu mereda
Saatnya bangkit mencapai kemuliaan
Kita hentikan kemaksiatan
Biar menjadi mimpi di masa lalu
Ayo !!! Majulah kawanku
Berbaris… Bergerak menuju harapan

Mungkin kita terlihat biasa
Dan sungguh apa adanya
Namun kita benci menjadi orang yang biasa-biasa saja
Maka siapkan dirimu untuk menjadi yang luar biasa
Dengan kemuliaan Islam tentunya


By_214

RONA KEGETIRAN


Banjarmasin Post..

Minggu, 3 Oktober 2010..

24 Syawal 1431 H..



RONA KEGETIRAN



Oleh :

Dorratul Hijaziyah

_Zia_WhiteButterflies_




Panas yang begitu menyengat bagi setiap orang, tidak mengendurkan semangat bapak itu untuk menyusuri jalanan. Baju yang dipakainya terlihat sangat lusuh dan kusam, bahkan sudah terlihat tambalan di beberapa bagian. Keringat yang mengucur deras di tubuhnya, membuat baju kaos birunya tampak basah dari luar. Dengan celana hitam dan topi bundar yang tak kalah lusuh, ia berjalan menyusuri kota Banjarmasin di puncak siang itu. Tampak rambutnya sudah mulai memutih di balik topinya. Polusi udara dan panas matahari yang diarunginya setiap hari, jelas membuat wajahnya tampak lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.

Pemandangan yang memilukan itu kulihat dari depot di pinggir jalan. Sambil menyedot es kelapa yang ada didepanku, tatapanku tak beranjak dari gerak-gerik bapak itu. Dia berjalan sambil membawa karung besar yang dipanggul di bahunya. Beratnya karung membuat badannya sedikit membungkuk. Hatiku miris melihatnya, bapak itu adalah salah satu dari sekian banyak orang yang kurang beruntung di muka bumi ini. Kuambil buku kecil dan pulpen dari dalam tas, hobiku menulis rasanya harus disalurkan saat itu. Sejenak aku terdiam, sesaat kemudian langsung kugoreskan kata demi kata yang terbalut menjadi sebuah puisi di atas buku kecil itu.

Tanganku berhenti menulis, aku kembali terdiam sejenak dan kemudian dengan mata berbinar kutuliskan judul untuk puisi itu, “Rona Kegetiran”. Langsung kubereskan buku dan pulpen itu ke dalam tas. Dengan sedikit buru-buru, kubayar es kelapa tadi dan langsung ke arah parkiran untuk mengambil motorku. Aku langsung menjalankan motorku menyusul bapak itu. Tentu saja aku dapat dengan mudah menyusulnya karena bapak itu hanya berjalan kaki. Bapak itu sedang memunguti sampah di tempat penampungan sampah. Aku pun berhenti di dekat bapak itu. Sambil tersenyum, bapak itu berbicara kepadaku,

“Lempar saja Nak sampahnya.” Ternyata bapak itu mengira aku ingin membuang sampah.

“Tidak Pak, saya ke sini karena ingin memberikan ini kepada Bapak,” sahutku sambil memberikan selembar uang senilai dua puluh ribuan. Bapak itu melongo, namun sejurus kemudian senyum mengembang di bibirnya.

“Alhamdulillah, terima kasih Nak.” Ada tetes bening di sudut mata Bapak itu.

“Sama-sama Pak, semoga itu cukup untuk makan Bapak dan keluarga hari ini.”

“Ini sudah lebih dari cukup Nak, bahkan penghasilan Bapak selama 4 hari saja tidak sampai sebanyak ini. Bapak bersyukur karena masih ada pemuda sepertimu. Seandainya anak bapak juga sepertimu,” ucapnya sambil mengusap air matanya.

“Memangnya ada apa dengan anak Bapak?” rasa penasaranku keluar.

“Dia tidak bisa menerima keadaan keluarga kami yang serba kekurangan. Dia ingin seperti teman-temannya yang hidup layak dan selalu menuntut kepada orang tua,” wajahnya terlihat begitu sedih saat mengucapkan hal itu. Aku jadi sedikit tidak enak karena telah lancang bertanya demikian.

“Saya turut prihatin dengan sikap anak Bapak, semoga Bapak senantiasa diberikan ketabahan dan semoga Allah menyadarkan anak Bapak itu.”

“Amin, terima kasih Nak. Semoga Allah selalu melindungimu.”

“Amin, sama-sama Pak. Maaf, saya harus pergi sekarang. Assalamu ‘alaikum.” “Waalaikumsalam.”

Aku pun memacu motorku dan tanpa terasa air mataku menetes di balik kaca helm. “Ya Rabb, jika ayah masih hidup, sungguh aku tidak akan membiarkan beliau bekerja seperti itu,” batinku.

***



6 bulan kemudian…

Setelah jam kuliah berakhir, aku menuju rumah karena ada sesuatu yang ingin kuambil sebelum mengikuti acara seminar siang ini. Aku adalah seorang yatim piatu. Aku hanya tinggal sendiri karena aku adalah anak tunggal. Aku menolak saat diajak tinggal di rumah keluarga ibu maupun ayah. Karena bagiku, keadaan ini akan membuatku mandiri dan lebih tegar dalam menjalani hidup. Aku tak habis pikir, mengapa masih ada saja orang yang menuntut ini-itu, padahal orang tuanya tidak sanggup untuk memenuhinya. Mereka sama sekali tidak mensyukuri bahwa masih ada orang tua yang melindungi mereka. Tiba-tiba ada suara seseorang yang memanggilku.

“Fadlan!” aku pun menghentikan motorku. Ternyata yang memanggilku adalah Satria. Orang yang baru beberapa bulan ini aku kenal. Dia sering ikut pengajian di mesjid kampus, walau ia tidak berkuliah di sini. Sejak itulah kami menjadi semakin akrab. Satria adalah orang yang sangat baik dan rajin.

“Hai Sat, ada apa nih?” ucapku sambil menepuk pundaknya.

“Apakah setelah ini kamu ada agenda? Ada sesuatu hal yang ingin kubicarakan.”

“Apakah hal itu mendesak? Setelah ini ada seminar yang harus aku hadiri.”

“Oh, tak apa. Kalau begitu besok saja di mesjid kampus. Sama sekali tidak mendesak kok.”

Setelah mengucapkan salam, ia pun pergi. Ia menolak saat aku menawarkan diri untuk mengantarnya ke bengkel, tempat ia bekerja. Ia khawatir aku akan telat ke seminar karena mengantarkannya. Allah belum mengizinkannya untuk memiliki motor. Saat kemana-mana, ia hanya berjalan kaki atau sesekali memakai sepeda yang ia pinjam dari bosnya. Aku sungguh sangat kagum dengan semangat hidupnya. Ia juga tak pernah sungkan untuk belajar ilmu agama.

***

Keesokan harinya, kami kembali bertemu di mesjid kampus. Aku jadi penasaran sendiri dengan apa yang ingin dibicarakan oleh Satria. Ia duduk menungguku sambil membaca buku. Aku pun menyalaminya dan ikut duduk di hadapannya.

“Aku ingin berterima kasih padamu, Fadlan,” ucap Satria membuka pembicaraan.

“Terima kasih untuk apa?” sahutku yang memang belum mengerti apa yang dimaksud oleh pemuda ini.

“Tanpa kamu sadari, kamu telah banyak merubah sifat burukku. Melalui dirimulah Allah menyelamatkanku dari keterpurukan.”

Aku hanya diam sambil menunggu kata-kata yang keluar dari bibir Satria.

“Apakah kau ingat dengan seorang bapak yang kau temui 6 bulan lalu? Seorang bapak yang dengan wajah letihnya memunguti sampah di jalanan. Seorang bapak yang dengan gembiranya karena memperoleh uang darimu,” Satria terisak. Ia seakan tak bisa lagi membendung kesedihan yang sepertinya begitu memuncak.

“Ya, aku ingat. Masih terekam dalam ingatanku bagaimana wajah bapak itu. Ada apa Sat? Bagaimana kamu bisa mengetahui semua ini?” sahutku sambil memegang bahu Satria, berusaha menenangkannya.

“Bapak itu adalah ayahku,” Satria menunduk menahan tangisnya.

Tenggorokanku tercekat, terasa sulit menelan ludah.

“Ya, bapak itu adalah ayahku. Ayah yang selalu bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Ayah yang begitu sabar dengan hidup kami yang serba kekurangan. Namun apa yang telah kulakukan Fadlan? Aku malah memaki-makinya dan tak henti-hentinya menuntut kepadanya agar keinginanku terpenuhi. Aku sama sekali jauh dari agama saat itu. Saat ayah mengingatkanku tentang salat, tapi aku malah mengacuhkan dan memarahinya.” Satria menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kulihat bahunya berguncang. Kubiarkan dia menumpahkan bebannya lewat tangis itu.

Tak beberapa lama, Satria melanjutkan, “Tapi, sejak ayah sakit, aku jadi sadar, aku begitu menyayangi ayah. Aku tidak ingin kehilangannya. Aku jadi sadar kalau semua yang kulakukan selama ini ke ayah adalah sebuah kesalahan besar. Aku meminta ampun dan mencium tangannya. Dan dengan mudah dan tulus ia pun memaafkanku. Di malam hari sebelum ia meninggal, ia bercerita tentang pertemuannya denganmu. Ia ingin sekali aku belajar banyak hal kepadamu. Oleh karena itu, aku mencarimu dan akhirnya ikut pengajian di sini bersamamu.”

“Aku turut berduka atas meninggalnya ayahmu, Sat. Tapi, bagaimana kamu bisa tahu kalau pemuda yang bertemu dengan ayahmu itu adalah aku?”

“Sejak hari itu ayahku sangat kagum padamu. Ia tahu kau kuliah di sini dari jas almamater yang kau gunakan saat itu. Ia berusaha mencari tahu tentangmu dan akhirnya mengetahui kalau namamu adalah Fadlan. Tidak sulit juga bagiku untuk menemukanmu, karena memang kau cukup dikenal di kampus ini. Sekali lagi, terima kasih Lan, kau sudah mau menerimaku apa adanya dan membuatku jauh lebih baik sekarang.”

“Aku tidak melakukan apa-apa, Sat. Semua dapat berubah karena Allah memberikan kesempatan padamu dan karena kamu memiliki tekad kuat untuk berubah.”

“Kau orang yang sangat baik Lan. Maukah kau melakukan sesuatu hal untukku?”

“Tentu saja jika memang aku bisa melakukannya.”

“Jika berkenan, aku ingin kamu berkunjung ke makam ayahku. Dia pasti sangat senang jika demikian.”

***



Sore itu angin bertiup kencang. Menyapu dedaunan yang jatuh di tanah. Dua pemuda tengah duduk di depan sebuah nisan. Terlihat bibir mereka bergetar melantunkan surah Yasin.

“Kini aku begitu yakin dengan keutamaan sedekah,” ucap pemuda yang bernama Fadlan setelah bacaan mereka usai.

“Ya, sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan, akan banyak perubahan ke arah kebaikan yang terjadi. Oya, aku merasa sekarang ayah sedang tersenyum karena melihatmu di sini bersamaku.”

“Ya, dia tersenyum, juga karena kau sudah berubah sekarang.”

“Oya, aku baru ingat kalau aku sempat membuat puisi untuk ayahmu di hari itu.” Sambung Fadlan lagi.

“Benarkah?”

“Ya, puisi sederhana yang tiba-tiba saja terlintas di otakku.”

“Apakah kau masih ingat dengan isinya? Ayo, bacakanlah!”



RONA KEGETIRAN

Hati terkesiap melihat sosok itu
Uban dan keriputnya tlah menghampiri
Ia berjalan penuh kegetiran
Demi sesuap nasi

Hati terenyuh penuh iba
Jika ia ayahku, tak kubiarkan semua ini
Tak sempat nikmati masa tuanya
Hidup terasa pahit baginya

Cahaya kegembiraan terpancar
Saat tadahan tangan itu berbalas
Walau tak seberapa
Namun, begitu berarti baginya

***The End***



Selesai Ditulis di Banjarmasin..

Ehmmm.. Lupa tepatnya tanggal berapa.. Kalau tidak salah sudah lebih dari satu bulan yg lalu..

Cerpen ini sebenarnya saya ikutkan dalam sebuah lomba, tapi mungkin belum rezekinya untuk terpilih.. Tapi tak apa, Alhamdulillah bisa dimuat di BPost..

Cerita ini terinspirasi dari puisi "Rona Kegetiran" yg jg pernah dimuat di BPost (Minggu, 7 Maret 2010)..

Juga terinspirasi dari pengalaman pribadi yg sering kali melihat kakek2/nenek2 yg menjadi pemulung sampah. Hati terasa sakit jika melihat pemandangan memilukan seperti ini. Rasanya ingin sekali memangis, tapi tidak bisa..

Dengan cerpen sederhana ini, harapannya adalah semoga kehidupan mereka lebih baik dan semoga semakin banyak hati orang yg terketuk untuk lebih peduli kepada nasib mereka... Yaaa... Semoga... Amieeenn...

(^,^)

Kumpulan Puisi Zia_(Bag. 2)


Banjarmasin Post...

Minggu, 8 Agustus 2010...


SETETES KONTRIBUSIKU UNTUK PALESTINA

Oleh : Dorratul Hijaziyah


SUARA PALESTINA

Kekuatan sebenarnya kelemahan
Keinginan mungkinkah hanya khayalan?
Kedamaian harapan jiwa
Kesenangan hanya fatamorgana
Perpecahan mengungkap tasbih kesabaran
Gerak bibir bergetar pilu
Gerak nafas tersengal-sengal
Gerak pasti menuju hasrat-Mu
Yang kudamba hanya kedamaian negeriku
Negeriku… Palestina...


API JIHAD

Saat genderang perang telah ditabuhkan
Saat panji-panji telah dikibarkan
Saat dajjal dunia siap disingkirkan
Api jihad membara di dada
Pemuda Islam bersatu angkat senjata
Kemenangan islam adalah janji Allah
Tak seorang pun yang mampu menentangnya
Tak terkecuali kau… Israel…



CAHAYA KEMENANGAN

Di tengah gelapnya langit Gaza
Yakinlah masih ada cahaya terang
Cahaya terang kemenangan Islam
Karena kita harus terus berjuang
Berjalan di jalur kebenaran
Ingatlah slalu janji yang terpatri
Takkan pernah menyerah
Sebelum kemenangan digenggam di tangan



SYAHID SANG PEJUANG

Rentetan peluru menembus dada
Sekujur badan kaku seketika
Berbalut bingkaian air mata
Angin illahi masih terasa di sekujur nadi
Menguatkan diri walau tatapan tak lagi nyata
Syahid ini sungguhlah mulia
Semua muslim pasti mendambakannya
Yakinlah akan datangnya pejuang baru
Tegakkan keadilan di tanah Palestinaku



SETETES HARAPAN PALESTINA

Jika tiba waktunya
Kumau semua kan kurengkuh
Kedatangan-Mu kuharap dalam jiwa
Sesaat lalu masih saling tertawa
Namun kini suara ledakan yang menggema
Diiringi jerit tangisan yang membahana
Entah sampai kapan kemelut ini ada?
Berharap akan datangnya syuhada
Membawa kemenangan, dambakan syahidnya

UNGKAPAN HATI SANG KUPU-KUPU PUTIH_(Bag. 3)


Semua terjadi begitu cepat, mungkin bagian dari takdir-Nya…
Mungkin??? Salah..!!! Tentu ini semua bagian dari takdir-Nya…
Rasanya baru kemarin tak saling kenal, tapi kini tlah tahu siapa sosoknya…
Rasanya baru kemarin tak saling tegur sapa, tapi kini tlah jadi rekan kerja…
Rasanya baru kemarin diam tanpa kata, tapi kini tlah dalam kondisi harus saling berbicara…
Rasanya baru kemarin malu ungkapkan rasa, tapi kini perhatian pun terutara…

Begitu hebat butiran rahasia-Nya…
Begitu hebat arah jalan dari-Nya…
Begitu hebat rangkaian ketentuan-Nya…
Begitu hebat lukisan takdir-Nya…

Tanpa cinta-Nya, aku tidak dapat berbuat apa-apa…
Dengan cinta-Nya, tidak ada yang tidak dapat aku lakukan…
Without His love I can do nothing…
With His love there is nothing I cannot do…

Sungguh… cinta-Nya tak terkira kepadaku…
Si kupu-kupu putih yang rapuh nan kaku…
Dia tlah menyisipkan episode indah dalam perjalanan terbangku…
Episode indah yang kan kurangkum dalam sanubariku…
Dilahirkan dari rahim sosok hebat yaitu ibuku…
Dibesarkan dalam keluarga yang begitu perhatian kepadaku…
Diperkenalkan dengan seluruh teman-temanku…
Dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaikku…
Diberi ilmu oleh guru dan dosen panutanku…
Diberi pelajaran berharga oleh orang-orang hebat seperti kalian itu…

Kalian mengajariku untuk dekat kepada-Nya…
Kalian mengajariku tentang dunia…
Kalian mengajariku untuk tersenyum bahagia…
Kalian mengajariku untuk menyapu air mata…
Kalian mengajariku untuk berdiri setelah jatuh tak berdaya…
Kalian mengajariku untuk peduli pada sesama…
Kalian mengajariku…………..
Kalian mengajariku…………..
Sungguh banyak yang tlah kupelajari dari kalian…
Hingga aku pun tak mampu menuliskan semuanya…
Walau dengan tinta emas sekalipun…

Inilah secarik ungkapan hatiku…
Ungkapan hati sang kupu-kupu putih…
Ungkapan hati yang mungkin tak sebagus buatanmu…
Ungkapan hati yang mungkin saja tak sempat kuungkapkan langsung kepadamu…
Mungkin pula aku yang tak lagi diberi kesempatan itu…

Selagi bibirku masih bisa berucap…
Selagi jantungku masih berdegup stabil…
Selagi otakku masih bisa berpikir…
Selagi setiap persendianku masih bisa bergerak…
Dan…
Selagi ruh masih bersemayam dalam ragaku…

Maka…
Kutulis dengan tulus…
Kuucapkan dengan lantang…
BERUNTUNGNYA AKU DIPERTEMUKAN DENGAN ORANG-ORANG HEBAT SEPERTI KALIAN...
BANYAK PENGALAMAN BERHARGA YANG KUDAPAT DARI KALIAN...
TERIMA KASIH TELAH HADIR DALAM BEBERAPA EPISODE HIDUPKU...
SEMOGA…
SEJAK PERTAMA KITA BERTEMU…
SEKARANG…
DAN UNTUK SELAMANYA…
KITA DAPAT TERUS MEMUPUK IKATAN BATIN ITU…
IKATAN BATIN YANG TAKKAN LEKANG OLEH WAKTU…


By_Kupu-kupu Putih

Banjarmasin, 25 Juli 2010
01.00 am

FIRASATKU


Bismillahirrahmanirrahim


Assalamu 'alaikum Wr. Wb.


Mungkin cerpen yang saya buat kali ini agak berbeda dari cerpen2 sebelumnya. Cerpen kali ini bercerita tentang kehidupan pribadi saya (ehhhmmm...). Entah kenapa jadi terpikir untuk membuat cerita ini, hanya ingin sedikit berbagi pengalaman pribadi n NYATA yang pernah saya alami. Harapannya adalah agar teman2 skalian ingat dengan orang tua, terutama ibu yang sudah melahirkan n membesarkan kita. Apalagi bagi teman2 yang sekarang bekerja/kuliah jauh dari orang tua. Hendaknya selalu ingat bahwa ikatan batin antara orang tua dan anak itu begitu kuat. Jadi jangan berpikiran kalau jauh dari orang tua itu kita bisa bertindak seenaknya, merasa tidak ada yang mengawasi. Saat muncul di benak kita ingin melakukan sesuatu yang tidak benar, maka ingatlah Allah yang slalu melihat dan mungkin saja memberikan pertanda2 (entah apa itu) kepada orang tua kita yang berada jauh sehingga mereka jadi mengkhawatirkan kita.

Tapi bukan itu pengalaman pribadi saya. Saya sama sekali tidak pernah berpikir/melakukan hal2 yang salah/tidak diridhoi orang tua. Tapi suatu bukti bahwa ikatan batin antara anak dan orang tua itu begitu kuat. Semoga cerita ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian. Amien...

Selamat membaca...

Serambi Ummah...
Jumat, 2 Juli 2010...

"FIRASATKU"

Oleh : Dorratul Hijaziyah


Zia baru saja usai menyelesaikan tulisannya kali ini. Dia menatap puas file-file puisi, cerpen, dan artikel yang baru saja dituntaskannya. Gadis ini memang gemar sekali menulis, walau tulisannya memang belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tulisan kakak-kakak seniornya yang memiliki hobi sama. Telah tersemat dalam benaknya, kelak akan menjadi seorang penulis sekaligus apoteker. Mengapa apoteker? Wajar, gadis ini memang tengah menempuh kuliahnya di Farmasi, sekarang baru menempuh semester kedua.

Zia kuliah di Banjarbaru, jadi dia harus hidup jauh dari orang tuanya dan kedua adiknya yang tinggal di Banjarmasin. Tapi jika tidak ada kesibukan, setiap 2 minggu sekali di akhir pekan dia masih bisa pulang karena jarak yang ditempuh hanya kurang lebih 1 jam perjalanan.

Hari ini hari Senin, seusai salat subuh dan bersiap-siap, sekitar jam 6 pagi Zia berangkat dari Banjarmasin menuju Banjarbaru menggunakan motornya. Jam 8 dia ada kuliah Kimia Analisis. Alhamdulillah dia sampai di kos dengan selamat, walau sempat terjadi kemacetan di depan Bandara Syamsudin Noor karena ada terjadi kecelakaan. Zia paling takut kalau melihat hal-hal seperti ini. Semoga senantiasa dijaga Allah dalam setiap aktifitas. Amin.

Setelah pulang kuliah, dia kembali lagi ke kos. Hari itu cuma ada satu kuliah dan jam 2 siang nanti ada praktikum Morfologi, Anatomi, dan Fisiologi Tumbuhan. Jadi dia bisa beristirahat dulu sebelum praktikum dimulai. Tapi, dia memang tidak bisa diam. Dia menyelesaikan tulisan artikel karena besok akan di tempel di mading kampus. Sedangkan puisi dan cerpen sudah dirangkumkannya tadi malam saat di Banjarmasin.

Zia pun kemudian berbaring di atas tempat tidurnya, sejenak memperistirahatkan punggung yang sudah sangat lelah. Sambil beristirahat, dia membuka modul praktikum dan membaca materi praktikum hari ini. Karena setiap praktikum selalu saja diawali dengan pretest. Mungkin adalah suatu kebiasaan buruk karena membaca sambil berbaring, tapi Zia memang sudah terbiasa demikian.

***

Sambil membaca modul praktikum, entah kenapa hati ini rasanya tidak enak. Tiba-tiba saja aku teringat dengan mamah. Rasa rindu dan khawatir berkecamuk tidak jelas dalam diri ini. Tak terasa air mataku menetes mengingat wajah mamah. Teringat tadi pagi ia membuatkan sarapan untukku dan mengantarkanku sampai depan rumah. Berkali-kali ia berpesan kepadaku untuk slalu hati-hati saat di jalan, jangan sampai mengantuk sambil mengendarai motor. Air mata pun semakin membasahi pipiku mengingat semua itu.

Pikiranku tersadar, Astagfirullah, apa yang terjadi denganku? Tidak pernah aku mengalami hal seperti ini sebelumnya. Baru tadi pagi aku bertemu dengan mamah, kenapa sekarang tiba-tiba begitu mengkhawatirkannya? Padahal sebelumnya pernah 3 minggu tidak pulang, tapi tidak pernah serindu ini.

Kuhapus air mata yang masih membasahi pipiku, kuraih handphone berwarna merah yang terletak di atas tumpukan buku. Sesegera mungkin kuketikkan pesan singkat ke mamah, “Mah, baik2 aja kan?”, kukirim pesan itu dengan rasa cemas yang masih melanda.

Kutunggu balasan pesan itu, 1 menit, 2 menit, setelah 3 menit akhirnya terdengar nasyid “Hold My Hand” dari Maher Zain dari handphone itu tanda pesan masuk. Dengan sedikit lega karena mendapat balasan, kubuka pesan itu, “Mamah baik aja, knp?”. “Alhamdulillah”, seruku penuh rasa syukur. Langsung kuketikkan lagi balasannya, “Ga ada apa2 mah, entah knp hati rasanya ga enak td”, langsung kupencet send. Tak lama kemudian nasyid “Always Be There” terdengar nyaring dari handphone itu. Terlihat di layar “Incoming My Mother”. Aku pun langsung duduk dan mengangkat telepon itu. Cukup lama kami berbicara di telepon. Mamah bingung setelah membaca pesan terakhir dariku tadi, mengapa aku bisa mengkhawatirkannya padahal baru saja pagi tadi bertemu. Aku sendiri cuma bisa menjawab dengan kalimat “Tidak tahu”. Kami pun membicarakan hal-hal lain. Terutama mamah yang menanyakan apakah aku sudah menaruh makanan yang diberikannya kepadaku tadi pagi di rice cooker, apakah aku sudah mengisi bensin motor, dan sebagainya. Ahh, mamah, dia memang selalu perhatian kepadaku.

***

Keesokan harinya…
Aku kembali ke tempat kos setelah selesai kuliah. Setelah berganti pakaian, aku pun mengambil air wudhu untuk menunaikan salat dzuhur. Seusai salat, aku langsung mengambil nasi dan lauk. Menikmati rezeki yang diberikan Allah di siang itu. Tiba-tiba terdengar getaran dari dalam tas, suara getaran handphone yang belum sempat kuganti profil silent-nya dari kuliah tadi. Tenyata telepon dari mamah,
“Assalamu ‘alaikum”
“Waalaikum salam”
“Dimana sekarang?”
“Di kos mah, ada apa?”
“Ga kuliah?”
“Baru selesai”
“Owh iya, mungkin perasaan ga enak Zia kemaren memang suatu pertanda.”
“Hah? Pertanda apaan mah?” tanyaku tidak mengerti.
“Tadi pagi mamah terpeleset dari tangga.”
“Astagfirullah,” seruku kaget dan spontan melepaskan nasi yang sudah kupegang.
“Gimana keadaannya sekarang?” tanyaku lagi.
“Mamah sempat tidak bisa berjalan, tapi Alhamdulillah sekarang sudah baikan. Tadi malam om Zia yang ada di Martapura juga tiba-tiba menelepon mamah. Sama seperti Zia kemaren, om juga menanyakan kabar mamah. Mamah jadi aneh sendiri, mungkin ini memang pertanda dari kalian tentang mamah.”
Setelah mengakhiri telepon dengan mamah tersebut, aku sejenak terdiam. Betapa hubungan anak dan ibu itu begitu kuat. Walau terpisah, ikatan batin di antara keduanya slalu menyatu. “Mamah, aku sayang dengan mamah. Surgaku ada di telapak kakimu. Doakan aku untuk slalu bisa membanggakanmu” ucap batinku.

Selesai ditulis di Banjarmasin...
Kamis, 10 Juni 2010 (10.30 wita)

Ungakapan Hati Sang Kupu-kupu Putih (Bag. 2)


Suasana gaduh tiba-tiba hilang…
Gelak tawa berubah hening…
Senyap…
Bagiku di sini…
Pikiranku melayang jauh…
Mencoba bermain imajinasi…
Mengintip semu ungkap rona hati…
Keramaian di luar tak terdengar lagi…
Hanya suara hati bicara sendiri…
Meluapkan gejolak hati…
Yang kadang tak mampu dimengerti…

Warna-warna itu datang silih berganti…
Mampu mengusik sejenak damainya hati…
Menorehkan secercah tintanya…
Kadang merah, kadang kuning…
Hijau pergi, jingga tetap bertahan…
Ungu bergerak cepat, nila perlahan namun pasti…
Lima garis kelabu turut mengusik…
Mengapa tak ada rona biru?
Karena biru tlah ada di sana…
Bersemayam di awal mula…

Warna-warna itu menganggap aku tak tahu…
Menganggap aku tak mengerti…
Padahal, kelabu pun dapat kulihat…
Harap hati dapat menuliskan setiap torehan warna itu…
Dapat mengabadikannya dengan goresan tinta…
Namun tak satupun mampu tertuliskan…
Karna hanya mata, pikiran, dan hati yang mengerti semuanya…
Namun mereka semua tak sanggup untuk mengungkapkannya…

By_Kupu-kupu Putih

Sabtu, 08 Januari 2011

Goresan Pena di Tengah Malam


Bintang di malam ini, akankah ingat kepadaku?
Dapatkah satu saja di antara ribuan bintang yang berhamburan itu membantuku?
Bisakah satu saja di antara bintang itu menemaniku di sini?
Atau… jemput dan bawa aku melihat indahnya malam ini…

Hiruk-pikuk di malam ini, membuatku ingin menjauh dari empuknya kasur yang terbentang…
Ingin seikali rasanya sejenak memperistirahatkan setiap sendi dan otak yang terus-menerus bekerja…
Namun, sempatkah aku melakukan semua itu?
Kurasa tidak…
Kacaulah segalanya saat esok hari aku membuka mata…

Sesaat ku tengok ruang di sebelah, lampu telah padam…
Penghuninya telah hanyut dalam bunga tidurnya…
Mungkin hanya ruang inilah yang masih terang benderang…
Kuharap waktu tak cepat berlalu…
Izinkan aku menikmati malam ini lebih lama lagi…

Bintang…
Ulurkan tanganmu, bantu aku memegang pena ini…
Ingin kutujunjukkan pada dunia, aku bisa menyelesaikannya…
Jika tintanya telah habis, ku ingin kau menuliskannya dengan keajaibanmu…



>>>ZIA<<<
_Banjarbaru, 26 Mei 2010 (04.40 a.m.)

STAR LIGHT


Di senja lelah di satu perairan…

Aku ringkuk dibalut sarang bawah parade rembulan…

Diatas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi…

Bertolak dari iringan kesekian kali gelap-terang…

Aku celotehkan keluh, getir juga serpihan tawa dalam baringan pejam…

Memandangi langit di balik kelopak mata yang sepi tanpa sepenggal awan…

Satu bintang di langit itu sudah sehari semalam berjalan…

Dalam isak yang menyentak di benak malam…

Terhenti burai celoteh bibirku, bersilih riuh gumam di dadaku…

Ada bintang kokoh yang berkelip tajam lalu tergolek sunyi…

Hanya setetes jemariku berusaha mengapai ketinggiannya…

Bertahun berlalu sejak aku disapa bintang itu…

Bintang yang selalu bersinar tak hanya buatku, namun untuk sekian ribu bahkan sekian juta orang…

Panjang nama-nama manusia di langlang langitnya…

Tak terhitung keluh kesah menggunung di setiap sudut pikirannya…

Ia sebuah bintang yang membuat siapa saja mengagumi sinarnya…

Rabu, 16 Juni 2010

"Air Mata di Atas Nisan"


Serambi Ummah...
Jumat, 21 Mei 2010...

"Air Mata di Atas Nisan"

Oleh : Dorratul Hijaziyah



Pesawat mendarat dengan mulus di atas aspal licin Bandara Syamsudin Noor. Gadis berjilbab biru itu keluar dari pesawat dengan tenang sambil menarik kopernya. Azela namanya, sudah 2,5 tahun lebih ia meninggalkan Kalimantan Selatan untuk menyelesaikan pendidikan S-2-nya di King Saud University, Arab Saudi. Kini ia begitu rindu dengan Banjarmasin, tempat ia dibesarkan.

Azela memang tidak dilahirkan di Banjarmasin, namun Banjarmasin sudah begitu lekat di hatinya. Ia lahir di Arab Saudi, tempat asal kedua orang tuanya. Oleh karena itu, benar-benar tidak berlebihan jika banyak orang yang mengatakan bahwa Azela adalah gadis cantik keturunan Arab. Badannya tinggi dan hidungnya mancung seperti layaknya orang Arab. Sejak berumur 3 tahun ia sudah mulai hidup di kota seribu sungai ini. Kota inilah yang menjadi saksi bagaimana proses hidupnya. Tak salah jika Azela sangat merindukan makanan khas Banjar setelah lama kepergiannya.

Azela berjalan cepat menuju pintu keluar bandara. Terlihat banyak orang yang menjemput sanak saudaranya, namun lain hal dengan Azela, tak seorang pun yang menjemputnya. Ayahnya meninggal saat ia baru berumur 1 tahun, sedangkan ibunya meninggal 5 tahun yang lalu. Hanya adik laki-lakinya yang kini masih tinggal di Banjarmasin.

Azela menaiki taksi yang memang sudah terparkir di depan bandara. Namun ia tidak memerintahkan sopir untuk ke Banjarmasin, melainkan ke arah yang berlawanan, Pemakaman Sultan Adam Martapura.
***

Azela duduk di depan kedua makam yang berdampingan itu. Tak terasa air matanya menetes melihat nisan kedua orang tuanya. “Ummi, Abi. Azela sudah datang. Kini Azela sudah bisa mengamalkan ilmu yang Azela terima saat kuliah di Arab Saudi. Azela berjanji akan membuat kalian bangga dan selalu menjaga Aryan” ucap Azela disela tangisnya.
Setelah mendoakan kedua orang tuanya, Azela pun berjalan meninggalkan kompleks pemakaman. Dia kembali menaiki taksi yang memang diminta untuk menunggunya. Taksi itu pun kemudian melaju cepat menuju Banjarmasin.
***

Kini Azela sudah sampai di sebuah rumah bercat putih yang cukup besar. Itu adalah rumahnya yang begitu ia rindukan. Tempat yang dulu ia habiskan untuk berkumpul dengan kedua orang tuanya dan adiknya, Aryan. Namun kini rumah itu terlihat begitu sepi.

Azela memencet bel, tak lama kemudian pintu pun terbuka. Seorang ibu setengah baya terlihat di balik pintu. Ibu itu menatap Azela, ia tampak begitu terkejut. Ia langsung memeluk Azela sambil menangis haru.
“Alhamdulillah akhirnya Nak Azela datang” ucap bi Diah setelah melepas pelukannya. Bi Diah adalah orang yang paling dekat dengan keluarga Azela. Dialah yang selama ini menemani Aryan yang memang masih duduk di bangku kelas 3 SMA.
“Ya, Alhamdulillah pendidikan saya sudah selesai Bi. Mana Aryan?” Tanya Azela yang sudah sangat merindukan adiknya.
“Aryan… Aryan lagi pergi nak” sahut bi Diah terbata-bata. Wajahnya berubah drastis saat Azela menanyakan tentang Aryan.
“Ada apa dengan Aryan Bi? Dia baik-baik saja kan?” tiba-tiba hati Azela diliputi kekhawatiran.
“Nanti bibi ceritakan, nak Azela istirahat aja dulu ya!”
***

Azela sangat shock mendengar cerita bi Diah mengenai adiknya. Aryan kini sudah mulai bergaul bebas dengan banyak teman perempuannya. Dan parahnya, ia juga bergabung dengan geng motor yang kerap kali mengganggu lalu lintas di jalan raya. Balap-balapan liar itu pun juga sering dibumbui dengan memeras harta milik orang lain.
***

3 hari kemudian…
Beberapa hari ini aku sangat sedih melihat Aryan. Setelah pulang sekolah ia keluyuran lagi di luar. Bahkan kemarin jam 10 malam baru pulang. Saat kunasehati, ia hanya diam seribu bahasa sambil memandangku. Aku baru menyadari, mungkin selama ini ia kurang kasih sayang sehingga berbuat demikian.

Sekarang sudah jam 8 malam, tapi Aryan masih tak kunjung pulang. Aku duduk di ruang keluarga sambil menunggunya. Tiba-tiba telepon berdering, dengan sigap bi Diah mengangkatnya. Namun, kabar buruk dari si penelepon itu spontan membuatku ternganga.
***

Aku berlari di koridor rumah sakit dengan air mata yang masih membasahi pipiku. Teman Aryan yang mengabarkan kalau Aryan kecelakaan akibat balapan motor. Sekarang Aryan dalam keadaan kritis. Aku langsung masuk ke ruangan tempat Aryan diperiksa. Ia masih sadar, namun kondisinya sangat lemah dengan beberapa cucuran darah di sebagian tubuhnya. Ia memandangku dan mengisyaratkanku untuk mendekatinya. Tiba-tiba ia langsung memelukku, kami pun tenggelam dalam tangisan masing-masing.
“Maafkan Aryan ka, Aryan sama sekali tidak mau seperti ini. Aryan dipaksa!” ucapnya terbata-bata sambil menahan sakitnya.
“Ya, kakak percaya. Jangan meminta maaf dengan kakak, minta ampunlah dengan Allah, Adikku. Dia pasti memaafkan hambanya yang sungguh-sungguh bertaubat.”
“Jaga diri kakak baik-baik ya? Ummi dan Abi sudah menunggu Aryan.”
Dua kalimat syahadat pun terucap saja di bibirnya. Hembusan nafas ikut hilang seakan terbawa oleh kepergiannya.
***

Jumat, 5 Maret 2010
Azela menatap ketiga nisan yang berdampingan itu. “Ummi, ummi, ummi, abi, Aryan, kini aku tinggal sendiri. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian” ucapnya dengan buraian air mata yang tak tertahankan. Hujan pun mengguyur kota Martapura di sore itu, seakan ikut mengerti duka yang dialami Azela. Membasahi bunga melati yang masih terlihat segar di atas nisan.

(Selesa ditulis : Banjarbaru, 5 Maret 2010... 20.25 wita)

PUISI ZIA BAG 1


Banjarmasin Post... Minggu, 7 Maret 2010...


Oleh : Dorratul Hijaziyah

LANGIT YANG BERJAUHAN

Apakah langit di sini sama dengan langit di sana?
Apakah yang dirasakan di sini sama dengan yang dirasakan di sana?
Apakah bintang-bintang di sini dapat menyampaikan pesan hingga ke sana?
Masih terekam dalam ingatan kisah indah kemarin
Membuat simpul senyum ini kembali berkembang
Tak dapat dipungkiri, sungguh tak dapat tergantikan

Pesan itu, akankah tersampaikan?
Oh bintang... Kaulah harapanku
Kaulah saksi atas niat tulusku
Sungguh... Ku rindu sahabatku



UNTAIAN TULUS DARI HATI

Senja bergulir malam, dikau tetap bekerja
Tak peduli betapa lelah hatimu
Guruku sayang, kau tetap mengabdi
Kau buat aku tahu akan dunia
Kau buat aku mengerti yang tak kumengerti
Sejuta kenangan manis pun terukir
Disaksikan oleh waktu

Kini..., detik-detik berdansa di atas ketergesaan waktu
Terasa cepat kebersamaan itu direnggut
Meski fisik ini terpisah jauh
Biarkan hati ini menyimpan kenangan
Senantiasa menjaga ikatan batin itu


FENOMENA 2012

Angka-angka itu berderet laksana gunung
Tiba-tiba saja menjadi begitu masyhur
Deretan angka hebat yang mendahului ketetapan-Nya
Beraninya mereka menerka waktunya

Sungguh ghoib perkara kehancuran itu
Semua itu, hanya ada di sisi Rabbmu
Manusia yang serba kurang
Bagaimana mungkin bisa menerka?

Jika Dia ingin, besok pun terjadi
Tiba-tiba, saat dirimu lengah
Bentengi diri dari isu keliru, wahai saudaraku
Siapkan saja bekal untuk hari itu


RONA KEGETIRAN

Hati terkesiap melihat sosok di samping
Uban dan keriputnya tlah menghampiri
Tangannya menadah penuh kegetiran
Demi sesuap nasi

Hati terenyuh penuh iba
Jika ia ayahku, tak kubiarkan semua ini
Tak sempat nikmati masa tuanya
Hidup terasa pahit baginya

Cahaya kegembiraan terpancar
Saat tadahan tangan itu berbalas
Walau tak seberapa
Namun, begitu berarti baginya

“SATU GADIS TELAH PERGI”

Serambi Ummah, 5 Maret 2010...

“SATU GADIS TELAH PERGI”


Oleh : Dorratul Hijaziyah


Zelia adalah gadis kecil berusia 7 tahun yang cerdas dan sangat periang. Ayahnya adalah seorang ustadz yang cukup terkenal di kotanya. Sedangkan ibunya adalah pengelola sebuah TPA yang tak jauh dari rumahnya. Jadi, sejak kecil Zelia memang dibesarkan dalam keluarga yang begitu islami. Zelia selalu memanggil ayahnya dengan sebutan abi dan ibunya dengan sebutan ummi.

Suatu hari, Zelia baru pulang dari belajar mengaji di TPA yang diasuh ibunya sendiri. Setelah mengucapkan salam, dia langsung menghampiri ayahnya yang sedang duduk membaca buku. “Abi…, maukah abi membelikan Zelia beberapa barang?” tanyanya sambil bergelanyut manja di pundak sang ayah. “Tentu saja anakku,” sahut sang ayah tanpa bertanya lebih banyak lagi.

Sore itu pun Zelia dan ayahnya langsung ke toko baju. Saat sampai di sana, dia langsung sibuk memilih-milih baju muslim anak yang bergantungan di toko itu. Sang ayah yang melihat hal itu cuma bisa geleng-geleng kepala. Sambil menunggu, ayah Zelia duduk sambil mengutak-atik telepon genggamnya. Beberapa lama kemudian, Zelia sudah memegang bungkusan besar hasil belanjaannya. “Abi, kata penjualnya semuanya jadi 300.000,” ucap Zelia sambil tersenyum. Ayahnya yang mendengar hal itu langsung terkejut. “Beli apa aja nak? Masa sebanyak itu?” Tanya sang ayah. “Baju muslim dan beberapa kerudung, abi.” Setelah mendengar hal itu, ayahnya pun membayar uang pembelian itu.

Sejak kecil ayah Zelia memang mendidik anaknya untuk mandiri dan bebas berkreativitas. Sama halnya dengan apa yang dia lakukan tadi. Dia tidak bertanya banyak atau menolak dengan apa yang dilakukan anaknya. Ayahnya ingin melihat, apa yang akan dilakukan anaknya terhadap barang-barang yang dibelinya itu.

Keesokan harinya, setelah pulang dari TPA Zelia langsung menghampiri ayahnya. “Abi, ini uang abi kemarin yang buat beli baju sama kerudung. Maaf ya abi, Zelia membuat abi mengeluarkan uang sebanyak itu?” ucap Zelia sambil menyerahkan uang yang nominalnya 300.000 itu. “Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini nak?” ayah Zelia terlihat begitu terkejut. “Baju dan kerudungnya Zelia jual kepada teman-teman di sekolah, dan keuntungannya digunakan untuk kegiatan amal. Sekarang temani Zelia ke suatu tempat ya? Mau kan abi?” “Ya, tentu saja anakku,” sahut ayahnya dengan senyum kebanggaan.

Zelia dan ayahnya sampai di lingkungan bawah jembatan yang cukup kumuh. Tempat itu selalu dilalui Zelia jika berangkat ke sekolah. Setelah keluar dari mobil, Zelia langsung menghampiri anak perempuan yang kira-kira sebaya dengannya. Anak itu duduk di atas alas karung, bajunya compang-camping, dan wajahnya terlihat begitu lesu. Zelia memberikan sekantong plastik makanan dan baju secukupnya kepada anak itu.

Ayah Zelia bangga kepada anaknya karena bisa berbagi dengan sesama. Ayahnya pun membawa anak yang ternyata sudah ditelantarkan orang tuanya sejak kecil itu ke rumah untuk diasuh. Hal itu tentu saja membuat Zelia senang karena dia sangat berharap anak itu mendapat penghidupan yang layak seperti dirinya.

Anak itu bernama Fina. Ayah Zelia merawat dan menyayangi Fina seperti anaknya sendiri. Fina kini memakai baju bagus dan kerudung seperti Zelia, dia terlihat begitu manis. Kini dia juga bisa makan makanan yang layak dan sekolah serta belajar mengaji seperti Zelia. Saat pergi sekolah, mengaji atau saat bermain, sekarang Zelia tidak sendirian lagi, ada Fina yang menemaninya. Fina sangat bersyukur bisa masuk ke dalam keluarga yang sangat baik seperti keluarga Zelia. Sekarang dia bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, ayah, dan saudara yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.
***


10 tahun kemudian…
Kini Zelia dan Fina telah beranjak dewasa, umur mereka sudah menginjak 17 tahun. Kedua orang tua mereka sangat bangga karena mereka berprestasi dalam bidang akademik dan sudah hapal Al Qur’an 5 jus.

Setelah pulang sekolah, seperti biasanya Zelia dan Fina menunggu jemputan di depan gerbang sekolah. Saat mobil jemputan datang, Zelia menyuruh Fina untuk duluan masuk ke mobil karena dia ingin membeli kue dulu di warung depan sekolah. Fina pun lalu menyeberang menuju mobil, tiba-tiba ada mobil yang berkecepatan tinggi dari arah kirinya. Zelia yang melihat itu, langsung berlari ke arah Fina yang tidak melihat mobil yang melaju itu. Zelia langsung mendorong Fina ke pinggir jalan, namun dia sendiri tidak terselamatkan. Bunyi lengkingan rem mobil mengiringi hentaman keras pada tubuh Zelia.

Sekarang Zelia ada di ruang ICU, kondisinya sangat kritis. Fina dan ibunya Zelia tidak henti-hentinya menangis di ruang tunggu. Sedangkan ayahnya hanya bisa duduk terpaku dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Fina menyalahkan dirinya, kalau bukan karena kecerobohannya, semua ini tidak akan menimpa Zelia. Namun ayah dan ibu Zelia tidak menyalahkan Fina, “Semua ini adalah takdir Allah”, ucap mereka saat Fina menceritakan kejadian itu.

Setelah satu jam menunggu, ruang ICU pun terbuka, Fina dan kedua orang tua Zelia langsung mendatangi Dokter yang keluar dari ruangan itu. Namun, dengan lemas Dokter itu mengatakan bahwa Zelia tidak dapat tertolong. Kini mereka hanya bisa menatap sosok Zelia yang sudah tidak bernyawa lagi.
***


Tiga hari setelah meninggalnya Zelia, Fina masuk ke kamar Zelia. Fina teringat kembali saat dia dan Zelia bermain dan belajar bersama di kamar itu. Di dalam hati dia masih saja menyalahkan dirinya yang menyebabkan semua ini. Tiba-tiba air mata Fina menetes karena tidak bisa lagi bersama Zelia yang bahkan telah dua kali menolong hidupnya. Tak sengaja, mata Fina tertuju pada buku yang terletak di atas meja belajar Zelia. Fina membuka buku itu, ternyata itu adalah buku harian Zelia. Dia pun membaca lembar demi lembar buku itu. Tangisnya bertambah saat membaca : “My Sweet Diary…, aku senang memiliki saudara seperti Fina. Jika suatu saat aku tidak ada, aku ingin dia menjaga ummi dan abi baik-baik. Senantiasa membuat ummi dan abi tersenyum bahagia. Ku berharap kami selalu bersemangat untuk menjadi hafidzah Al Qur’an. Amien…”


Selesai ditulis di Banjarbaru, 24 Februari 2010, 11.50 WITA...

Opening cerita ini terinspirasi dari materi yg diberikan oleh Bapak Yohandromeda Syamsu, saat mengikuti TM1 FSI Ulul Albab FMIPA UNLAM...

Syukron Katsir...

Salam Pena...

"JILBAB ELIZA"



Serambi Ummah
Jumat, 12 Februari 2010

"JILBAB ELIZA"

Oleh : Dorratul Hijaziyah

Eliza adalah sosok muslimah dambaan bagi siapa saja yang melihatnya. Tinggi semampai, hidung mancung bak keturunan Arab, kulit putih dan halus. Sungguh tak ada cela dalam dirinya. Ia pandai dalam prestasi akademik, juga dalam bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Berbagai prestasi telah diraihnya. Sejak SMA ia sudah mengikuti kegiatan keislaman di sekolah. Saat menjadi mahasiswi ini pun kegiatan sejenis masih digelutinya. Karena itulah ia mengerti betul bagaimana seharusnya bersikap dan ajaran islam lainnya. Namun, tak semua hal yang dialami Eliza berjalan sempurna. Mungkin yang dialami Eliza ini merupakan gambaran, banyak juga muslimah-muslimah lain yang menghadapi masalah yang sama. Bahkan mungkin lebih parah daripada yang dialami dirinya.

Keseharian Eliza yang mengenakan jilbab ditentang keras oleh kedua orang tuanya. Berbagai alasan dikemukakan untuk menghalangi anak semata wayangnya itu mengenakan jilbab. Takut tak ada laki-laki yang tertarik dengan Eliza lah, takut Eliza tidak bisa bekerja sesuai keinginan mereka lah, dan alasan-alasan lain yang membuat Eliza banyak beristigfar dan mengelus dada. Berbagai penjelasan dikemukakan Eliza untuk mempertahankan jilbab yang dikenakannya, namun belum mampu membuka hati kedua orang tuanya itu. Ada saja alasan mereka untuk menghalangi tekad kuat Eliza.

Keluarga Eliza memang beragama islam, namun Islam yang mereka pahami hanya setengah-setengah. Menurut mereka islam itu hanya sebatas beribadah, yaitu salat, puasa, dan zakat. Mereka membolehkan Eliza memakai kerudung modern yang sekarang ramai digunakan. Bukan jilbab lebar yang tidak memperlihatkan lekuk tubuh dan kerudung panjang hingga menutup dada yang biasa dipakai Eliza. Mereka berkata, kalau Eliza ingin berpakaian seperti itu, nanti saja setelah ia sudah tua. Astagfirullah, apakah kita bisa menjamin masih hidup sampai saat itu tiba? Sungguh, hidup sampai besok pun tak ada yang bisa menjamin. Bisa jadi hari esok adalah hari dimana kita akan dijemput oleh Yang Maha Kuasa. Saat itu, tak ada lagi kesempatan bagi kita untuk melaksanakan apa yang telah kita rencanakan.

Walau bagaimanapun Eliza sangat sayang dengan kedua orang tuanya. Hanya merekalah yang Eliza punya di dunia ini. Eliza akan selalu berusaha berbakti kepada mereka, karena ridho Allah bergantung kepada ridho orang tua. Namun, Eliza tidak bisa menuruti keinginan mereka untuk masalah menutup aurat ini, karena mengenakan jilbab secara sempurna merupakan suatu kewajiban dalam islam. Allah memerintahkan kita untuk senantiasa berbakti kepada orang tua, kecuali dalam hal kemaksiatan. Menjelaskan kepada mereka pun harus dengan kata-kata yang baik, tidak seperti menggurui, dan sabar jika usaha kita belum disambut baik oleh mereka. Eliza hanya bisa bersabar dan berharap semoga kedua orang tuanya bisa menerima dirinya dengan jilbab yang dikenakannya.

Selama ini jika ingin pergi kuliah atau pergi untuk keperluan lain, Eliza harus rela dimarahi ibunya terlebih dahulu. Namun, ia tetap bertahan pada prinsipnya menggunakan jilbab. Puncaknya adalah saat orang tuanya mengambil seluruh jilbab yang dimiliki Eliza, karena Eliza selalu saja tidak menurut jika disuruh untuk melepaskan jilbabnya. Sehingga tak ada satu pun jilbab yang tersisa di kamarnya. Eliza menangis saat mengetahui apa yang dilakukan orang tuanya. Dia tidak menyangka orang tuanya setega itu kepada dirinya.

Akibat kejadian itu, hampir seminggu Eliza mengurung diri di rumah. Ia sama sekali tidak ingin pergi kuliah atau pergi kemana pun tanpa mengenakan jilbab. Orang tuanya sangat marah karena tingkah Eliza tersebut. Hari-hari Eliza diiringi dengan buraian air mata. Ia mengadu kepada Allah dan selalu berdoa agar Allah membukakan hati dan menyadarkan orang tuanya, karena hanya Allah lah yang bisa memutar-balikkan hati manusia.

Malam itu, setelah salat maghrib Eliza mengerjakan tugas dari dosen yang ia ketahui dari teman dekatnya, Shofa. Dengan me-sms Shofa lah Eliza bisa mengetahui info tentang kampus selama ia tidak masuk. Tugas-tugas dari dosen tetap ia kerjakan, berharap dosen bisa menerima tugasnya saat ia bisa masuk kuliah nanti walau agak terlambat. Entah kapan saat itu akan tiba, saat dimana ia bisa ke kampus lagi dengan jilbabnya. Atau mungkin hal itu tidak akan terjadi? Yang pasti Eliza tidak akan mau membuka aurat kepada selain mahramnya.

Saat sedang asyik, tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Dari kamarnya yang tertutup rapat, Eliza bisa mendengar dengan jelas ayahnya yang membukakan pintu. Setelah pintu dibuka, ternyata yang datang adalah dua orang laki-laki, yang satu kira-kira sebaya dengan ayah Eliza dan satunya lagi adalah anaknya. Orang tua Eliza sama sekali tidak kenal dengan mereka. Setelah mempersilakan masuk dan menghidangkan minuman, orang itu pun menjelaskan maksud kedatangan mereka. Ayah laki-laki itu berkata bahwa mereka ingin mengkhitbah atau meminang Eliza. Sang anak pun ikut menjelaskan, ia sudah lama mengenali Eliza di kampus. Ia ingin menikah dengan Eliza karena akhlak dan tutur kata Eliza yang santun. Eliza pandai dan selalu menutup aurat dengan jilbabnya.

Setelah mendengar penuturan anak laki-laki tersebut, ibu Eliza meneteskan air mata dan ayahnya pun tertunduk. Mereka menyadari kesalahan mereka selama ini. Ibu Eliza langsung ke kamarnya, mengambil seluruh jilbab yang ia sita dari anaknya sendiri dan kemudian menyerahkannya lagi kepada Eliza. Eliza yang sudah mendengar pembicaraan tersebut dari kamar, langsung memeluk ibunya. Namun, ia belum tahu siapa sosok ikhwan yang telah menyelamatkan kehidupannya.

Eliza keluar kamar mengenakan jilbabnya dengan sempurna, ia kelihatan sangat cantik. Ikhwan yang memakai baju koko dan peci itu tenyata adalah orang yang telah ia kenal, yang juga merupakan salah satu rohis di kampusnya. Eliza langsung menerima pinangan tersebut. Sejak saat itu orang tuanya selalu mendukung apapun yang dilakukan Eliza. Ucapan rasa syukur tak henti-hentinya keluar dari bibirnya. Allah telah mengabulkan doanya dan membayar kesabarannya selama ini.

(Selesai ditulis : di Banjarmasin, pada hari Kamis, 14 Januari 2010, pukul 00.23)

Senin, 08 Februari 2010

"UNGKAPAN HATI SANG KUPU-KUPU PUTIH"



Oleh : Dorratul Hijaziyah (Zia), Mahasiswi Farmasi UNLAM Banjarbaru

Aku menangis dalam hati…
Tak seorang pun mampu mendengarnya…
Riak air yang senantiasa membuatku tersenyum, kali ini gagal melakukan tugasnya...
Apa yang kurisaukan?
Aku pun tak tahu pasti...

Kupu-kupu biru berhak melakukan semua itu...
Dan sang merpati tak tahu menahu, dia hanya menjalankan tugasnya...

Aku menangis dalam hati sejak kemarin...
Tapi saat jemari ini menari melukiskan kata hati...
Tangis itu pun meledak tanpa ada yang mampu mencegah...
Tak juga hujan...
Tak juga riak air...

Ku ingin pergi sejauh-jauhnya sekarang...
Ku ingin terbang setinggi-tingginya sekarang...
Ke tempat dimana aku bisa tenang...
Berteriak...
Walau kutahu teriakan kupu-kupu putih tak akan mungkin bisa didengar...

Sesaat... Ada dua angsa putih yang senantiasa hadir memberi semangat...
Bahkan melontarkan secara jelas hasrat hati mereka terhadapku...
Namun keduanya dapat kuhadapi dengan baik...
Tanpa ada keinginan untuk menyakiti atau membuat malu...
Karena... jika hati berbisik, siapa yang mampu menutup telinga...?
Tak seorang pun yang mampu...
Kecuali jika hatimu keras bagaikan baja...
Maafkan aku angsa putih, aku sering tak menghiraukan kalian...
Dengan menjaga interaksi ini saja, aku sudah dicaci oleh kupu-kupu biru dan sang merpati...
Bagaimana jika aku bercengkrama lebih dengan kalian?

Aku tahu, membawa dua angsa putih ke kehidupan nyataku memang hal yang salah...
Apalagi bagi kupu-kupu biru...
Maafkan aku, aku benar-benar tidak tega dengan mereka...
Aku tidak ingin menjadi sosok sombong sebagai makhluk biasa...
Aku juga tidak akan mungkin memasukkan mereka ke dalam relung hatiku, karena aku menunggu kau, wahai kupu-kupu biru...
Setidaknya aku ingin mereka tahu, bahwa kupu-kupu putih tidak sombong, tapi tak mudah untuk meluluhkan hatinya...
Seperti saat kupu-kupu biru melakukannya...

Kupu-kupu biru...
Tahukah kau, aku sedang sakit sekarang...?
Satu sayapku terluka di tengah perantauan...
Tapi, kuyakin kau tak akan peduli itu...
Biarlah sayap birumu membuat kau lupa denganku...
Karena aku memang hanya kupu-kupu putih...
Tak berwarna, pucat, dan tak seindah dirimu...
Kelak... Jika kita bertemu lagi...
Mungkin kau hanya akan mencaciku...
Mengorek kesalahanku lebih dalam lagi...

Kali ini, ku benar-benar akan pergi...
Sejauh-jauhnya yang aku mau...
Aku sudah sangat lelah dengan semua ini...
Tak satupun dari kalian yang dapat mencegah...
Pergi dari dunia fatamorgana ini...
Walau sesekali aku akan datang, tapi tak satupun dari kalian yang akan menemukan jejakku...
Jika suatu saat kau rindu...
Saat itu, sungguh...
Ku berjanji dalam hati, akan sangat sulit bagi kau untuk meluluhkan hatiku...


By_Kupu-kupu Putih