Rabu, 16 Juni 2010

“SATU GADIS TELAH PERGI”

Serambi Ummah, 5 Maret 2010...

“SATU GADIS TELAH PERGI”


Oleh : Dorratul Hijaziyah


Zelia adalah gadis kecil berusia 7 tahun yang cerdas dan sangat periang. Ayahnya adalah seorang ustadz yang cukup terkenal di kotanya. Sedangkan ibunya adalah pengelola sebuah TPA yang tak jauh dari rumahnya. Jadi, sejak kecil Zelia memang dibesarkan dalam keluarga yang begitu islami. Zelia selalu memanggil ayahnya dengan sebutan abi dan ibunya dengan sebutan ummi.

Suatu hari, Zelia baru pulang dari belajar mengaji di TPA yang diasuh ibunya sendiri. Setelah mengucapkan salam, dia langsung menghampiri ayahnya yang sedang duduk membaca buku. “Abi…, maukah abi membelikan Zelia beberapa barang?” tanyanya sambil bergelanyut manja di pundak sang ayah. “Tentu saja anakku,” sahut sang ayah tanpa bertanya lebih banyak lagi.

Sore itu pun Zelia dan ayahnya langsung ke toko baju. Saat sampai di sana, dia langsung sibuk memilih-milih baju muslim anak yang bergantungan di toko itu. Sang ayah yang melihat hal itu cuma bisa geleng-geleng kepala. Sambil menunggu, ayah Zelia duduk sambil mengutak-atik telepon genggamnya. Beberapa lama kemudian, Zelia sudah memegang bungkusan besar hasil belanjaannya. “Abi, kata penjualnya semuanya jadi 300.000,” ucap Zelia sambil tersenyum. Ayahnya yang mendengar hal itu langsung terkejut. “Beli apa aja nak? Masa sebanyak itu?” Tanya sang ayah. “Baju muslim dan beberapa kerudung, abi.” Setelah mendengar hal itu, ayahnya pun membayar uang pembelian itu.

Sejak kecil ayah Zelia memang mendidik anaknya untuk mandiri dan bebas berkreativitas. Sama halnya dengan apa yang dia lakukan tadi. Dia tidak bertanya banyak atau menolak dengan apa yang dilakukan anaknya. Ayahnya ingin melihat, apa yang akan dilakukan anaknya terhadap barang-barang yang dibelinya itu.

Keesokan harinya, setelah pulang dari TPA Zelia langsung menghampiri ayahnya. “Abi, ini uang abi kemarin yang buat beli baju sama kerudung. Maaf ya abi, Zelia membuat abi mengeluarkan uang sebanyak itu?” ucap Zelia sambil menyerahkan uang yang nominalnya 300.000 itu. “Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini nak?” ayah Zelia terlihat begitu terkejut. “Baju dan kerudungnya Zelia jual kepada teman-teman di sekolah, dan keuntungannya digunakan untuk kegiatan amal. Sekarang temani Zelia ke suatu tempat ya? Mau kan abi?” “Ya, tentu saja anakku,” sahut ayahnya dengan senyum kebanggaan.

Zelia dan ayahnya sampai di lingkungan bawah jembatan yang cukup kumuh. Tempat itu selalu dilalui Zelia jika berangkat ke sekolah. Setelah keluar dari mobil, Zelia langsung menghampiri anak perempuan yang kira-kira sebaya dengannya. Anak itu duduk di atas alas karung, bajunya compang-camping, dan wajahnya terlihat begitu lesu. Zelia memberikan sekantong plastik makanan dan baju secukupnya kepada anak itu.

Ayah Zelia bangga kepada anaknya karena bisa berbagi dengan sesama. Ayahnya pun membawa anak yang ternyata sudah ditelantarkan orang tuanya sejak kecil itu ke rumah untuk diasuh. Hal itu tentu saja membuat Zelia senang karena dia sangat berharap anak itu mendapat penghidupan yang layak seperti dirinya.

Anak itu bernama Fina. Ayah Zelia merawat dan menyayangi Fina seperti anaknya sendiri. Fina kini memakai baju bagus dan kerudung seperti Zelia, dia terlihat begitu manis. Kini dia juga bisa makan makanan yang layak dan sekolah serta belajar mengaji seperti Zelia. Saat pergi sekolah, mengaji atau saat bermain, sekarang Zelia tidak sendirian lagi, ada Fina yang menemaninya. Fina sangat bersyukur bisa masuk ke dalam keluarga yang sangat baik seperti keluarga Zelia. Sekarang dia bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, ayah, dan saudara yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.
***


10 tahun kemudian…
Kini Zelia dan Fina telah beranjak dewasa, umur mereka sudah menginjak 17 tahun. Kedua orang tua mereka sangat bangga karena mereka berprestasi dalam bidang akademik dan sudah hapal Al Qur’an 5 jus.

Setelah pulang sekolah, seperti biasanya Zelia dan Fina menunggu jemputan di depan gerbang sekolah. Saat mobil jemputan datang, Zelia menyuruh Fina untuk duluan masuk ke mobil karena dia ingin membeli kue dulu di warung depan sekolah. Fina pun lalu menyeberang menuju mobil, tiba-tiba ada mobil yang berkecepatan tinggi dari arah kirinya. Zelia yang melihat itu, langsung berlari ke arah Fina yang tidak melihat mobil yang melaju itu. Zelia langsung mendorong Fina ke pinggir jalan, namun dia sendiri tidak terselamatkan. Bunyi lengkingan rem mobil mengiringi hentaman keras pada tubuh Zelia.

Sekarang Zelia ada di ruang ICU, kondisinya sangat kritis. Fina dan ibunya Zelia tidak henti-hentinya menangis di ruang tunggu. Sedangkan ayahnya hanya bisa duduk terpaku dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Fina menyalahkan dirinya, kalau bukan karena kecerobohannya, semua ini tidak akan menimpa Zelia. Namun ayah dan ibu Zelia tidak menyalahkan Fina, “Semua ini adalah takdir Allah”, ucap mereka saat Fina menceritakan kejadian itu.

Setelah satu jam menunggu, ruang ICU pun terbuka, Fina dan kedua orang tua Zelia langsung mendatangi Dokter yang keluar dari ruangan itu. Namun, dengan lemas Dokter itu mengatakan bahwa Zelia tidak dapat tertolong. Kini mereka hanya bisa menatap sosok Zelia yang sudah tidak bernyawa lagi.
***


Tiga hari setelah meninggalnya Zelia, Fina masuk ke kamar Zelia. Fina teringat kembali saat dia dan Zelia bermain dan belajar bersama di kamar itu. Di dalam hati dia masih saja menyalahkan dirinya yang menyebabkan semua ini. Tiba-tiba air mata Fina menetes karena tidak bisa lagi bersama Zelia yang bahkan telah dua kali menolong hidupnya. Tak sengaja, mata Fina tertuju pada buku yang terletak di atas meja belajar Zelia. Fina membuka buku itu, ternyata itu adalah buku harian Zelia. Dia pun membaca lembar demi lembar buku itu. Tangisnya bertambah saat membaca : “My Sweet Diary…, aku senang memiliki saudara seperti Fina. Jika suatu saat aku tidak ada, aku ingin dia menjaga ummi dan abi baik-baik. Senantiasa membuat ummi dan abi tersenyum bahagia. Ku berharap kami selalu bersemangat untuk menjadi hafidzah Al Qur’an. Amien…”


Selesai ditulis di Banjarbaru, 24 Februari 2010, 11.50 WITA...

Opening cerita ini terinspirasi dari materi yg diberikan oleh Bapak Yohandromeda Syamsu, saat mengikuti TM1 FSI Ulul Albab FMIPA UNLAM...

Syukron Katsir...

Salam Pena...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar